INFOKINI.NET, KOTA KUPANG – Terkait Dana Desa dalam program pembangunan dan pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) dan Program Inovasi Desa (PID) Provinsi NTT dari tahun 2015 sampai 2019 mencapai 10,590 Triliun.
“Pemerintah pusat telah mengucurkan dana ke NTT, untuk dana desa sejak 2015 sampai dengan 2019. 2015 dengan alokasi 812 Miliard. Kemudian tahun 2016 1,8 Triliun, tahun 2017 2,360 Triliun, 2018 2,5 Triliun dan tahun 2019 3,20 Triliun,” terang Kandidatus Angge selaku Kordinator P3MD provinsi NTT , Senin (13/05/2019).
“Ini angka-angka sungguh fantastis. Terhadap angka-angka ini sudah mampu memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap pelaksanaan kegiatan di provinsi NTT,” kata Angge.
Sejak 2015 sampai 2018, dari kegiatan yang teralokasi itu 73%, untuk kegiatan fisik sarana prasarana yang meliputi jalan desa, kegiatan jembatan, pasar desa, Rumah Layak Huni, tanggapan perahu, embung, irigasi dan sarana olahraga. Masing-masing kegiatan sarana prasarana ini pencapaiannya luar biasa.
“Puji Tuhan karena masyarakat NTT sadar bahwa alokasi dana yang begitu besar dapat berkontribusi bagi kegiatan fisik sarana prasarana,” ungkap Angge.
Angge menjelaskan, Seluruh kegiatan fisik sarana prasarana ini mengarah kepada sumber produksi. Artinya mampu menunjang peningkatan ekonomi masyarakat. Selain di bidang peningkatan hidup masyarakat teralokasi juga untuk misalnya tembok penahan tanah, air bersih, NCK, polindes, drainase, Paud, Posyandu, pembangunan sumur air minum.
“Ini sangat berkontribusi kepada wilayah-wilayah tetentu yang memang sangat kekurangan air. Itu beberapa kegiatan dari 2015 sampai dengan 2018 dan menjadi satu kebanggaan besar yang terjadi di pengelolaan dana desa secara nasional di NTT yaitu sejak 2018, pemerintah membuat skema yang disebut dengan padat Karya Tunai,” imbuhnya.
Menurutnya, dana desa dalam proses pelaksanaan kegiatannya harus melibatkan partisipasi masyarakat melalui pola swakelola bahkan ketika teralokasi dana untuk kegiatan fisik sarana prasarana minimal 30% itu harus teralokasi melalui pola swakelola dikerjakan oleh masyarakat.
“Arah orientasinya sederhana, ketika masyarakat mengerjakan berarti masyarakat mendapatkan hari orang kerja, sehingga mampu meningkatkan pendapatan mereka dan kontribusi di NTT mampu mensuplay bahkan lebih dari 30% seluruh NTT teralokasi sehingga dananya cukup besar untuk masyarakat,” terangnya.
“Saya bisa sampaikan bahwa alokasi bidang pembangunan untuk padat karya tunai itu ada 1,945 T. Kemudian alokasi untuk upah kerja itu dari dana 2018 2,5 Triliun. Itu teralokasi yang dibayarkan rill kepada masyarakat sebesar 424 Miliard,” tambahnya.
Terkait kontribusinya terhadap program prioritas kementerian desa, untuk dana desa di NTT diprioritas Embung. Embung itu, NTT sudah mampu membangun hampir 800 unit embung yang dibangun melalui dana desa dan tersebar di 21 kabupaten di NTT.
Kemudian ada program prioritas BUMdes. Untuk BUMdes data kita sudah sangat jelas bahwa kita punya penyaluran dana desa ini telah membangun dari 30.26 desa sampai dengan 2018 kemarin sudah ada 1.400 BUMdes yang dibangun. Walaupun baru sekitar 700-an dan 600 lebih sudah memiliki usaha yang baik.
“Memang BUMdes ini belum maksimal karena baru proses, tetapi kita berharap ke depan persoalan pembangunan BUMdes ini semakin baik,” katanya
Sementara untuk Program unggulan kawasan desa (Pulkades) di beberapa kabupaten, menurutnya, sedang dikembangkan secara kuat. Contohnya di Sumba Timur yang sudah mendapat pengakuan bagaimana kerja sama kawasan tebu. Sumba Barat rencana pengembangan jagung dengan puluhan ribuan hektar. Malaka dengan rencana pengembangan pisang. “Itu kawasan tertentu yang potensial namun akan memberikan efek ekonomi baru bagi masyarakat,” jelasnya.
Angge mengaku, masyarakat saat ini memiliki produk dan ada komoditi yang begitu besar, tetapi menjadi problematika adalah ruang ekonomi dalam hal ini adalah pasar.
“Sehingga dengan dana desa ini kita coba menghantar masyarakat melalui pola pendampingan. Kita bisa mendamping dalam 1 wilayah yang memiliki komoditi luar biasa untuk mengembangkan pasar lokal. Sehingga para pihak pembeli “pedagang luar” tidak bisa langsung masuk kepada kantong-kantong produksi melainkan hanya di pasar. Sehingga pasar menjadi titik kendali ekonomi 1 wilayah,” jelasnya.
“Jadi ketika desa memiliki BUMdes dan memiliki prodak maka BUMdes yang ada di kecamatan itu menjadi penyanggah. Sehingga bersama BUMdes itulah prodak dari desa BUMdes harus mengantar pulaukan, mencari sumber pemasaran baru di luar daerah, Kabupaten maupun provinsi. Ini sementara dikembangkan beberapa program kita untuk 2019-2020,” tandasnya. (WK)