Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Golkar yang juga Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng ketika Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan di Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/3/2023). Foto: Tangkapan layar MetroTV
INFOKINI.NET, JAKARTA – Politisi senior partai Golkar yang kini anggota Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng menjelaskan soal besar atau kecil nilai korupsi. Ia menegaskan, tidak mengajak masyarakat boleh korupsi asal nilainya kecil.
Bahkan, Wakil Ketua Umum DPP Golkar itu menegaskan, tidak mentolerir terhadap perbuatan korupsi, baik nilainya kecil maupun besar.
“Korupsi ya korupsi. Itu perbuatan melanggar hukum. Mau kecil atau besar, sama saja. Saya sama sekali tidak tolerir terhadap perbuatan korupsi. Apa yang saya katakan bukan lalu mengajak boleh korupsi asal nilainya kecil. Bukan begitu maksudnya,” sebut Melchias Markus Mekeng di Jakarta dilansir dari Tribunnews.com Kamis (30/3/2023).
Melky Mekeng mengatakan, konteks yang dimaksud adalah sindiran terhadap sistem perpajakan di Indonesia yang masih membuka ruang pertemuan fisik antara fiskus dan wajib pajak.
“Sehingga dengan sistem yang ada fakta yang kita terima hari ini adalah terjadi masalah serius. Yang kelas kakap saja tidak bisa terdeteksi apalagi yang kecil-kecil. Jika diperhatikan secara utuh pendapat saya maka tujuan utama yang ingin saya sampaika adalah membangun sistem yang kuat agar tidak ada ruang bagi siapapun untuk makan uang haram. Sekali lagi, substansinya adalah membangun sistem perpajakan yang kuat dan transparan sehingga menutup sekecil mungkin penyelewengan penerimaan negara,” tegasnya.
Ia mengklarifikasi atas pernyataannya saat Rapat Kerja (Raker) Komisi XI dengan Menteri Keuangan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Saat itu, dia mengomentari harta kekayaan tidak wajar mantan Kepala Bagian Umum Dirjen Pajak (DJP) Kanwil Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang kini menjadi tersangka korupsi KPK.
“Kebanyakan dia (RAT, red) makan uang haram itu. Kalau makan uang haram kecil-kecil nggak apa-apalah. Ini makan uang haram sampai begitu berlebih, maka Tuhan marah,” kata Mekeng saat Raker tersebut.
Atas pernyataan itu, Mekeng memberikan penjelasan bahwa, konteks pembicaraannya lebih pada uang haram dalam transaksi di masyarakat, yang tidak diketahui asal usulnya.
Disebutnya, dalam kehidupan sehari-hari, uang haram itu beredar secara bebas dalam masyarakat. Yang menggunakannya bisa penjahat tetapi juga bisa orang baik. Hal itu terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak tahu dari mana sumber uang seseorang.
“Kita nggak pernah tahu uang yang kita terima, itu sumbernya 100 persen halal atau tidak. Katakanlah kita jual motor ke orang lain, terus dibeli. Apakah kita tahu uang dari pembeli itu halal atau haram? Bisa saja dari hasil rampok. Kemudian motor kita dibeli. Kan itu uang haram namanya tapi kita tidak tahu,” jelas Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.
Begitu pun dengan seorang penjual rokok yang tidak pernah tahu sumber uang dari pembelinya. Jika uang pembelinya berasal dari hasil pencurian atau pemerasan maka sudah masuk kategori uang haram. Otomatis penjual rokok juga menikmati uang hasil rampokan dari pembeli tadi.
“Kalau itu yang hasil rampok, lalu beli rokok, kan itu uang haram juga, si penjual rokok makan uang haram. Itu yang maksud saya, yang kecil-kecil itu kayak gitu,” tutur Mekeng.
Dia menyebut masyarakat tidak bisa mengontrol 100 persen sumber uang yang beredar. Kecuali ada instrumen saat orang sebelum melakukan transaksi, harus menyatakan asal-usul sumber uangnya.
Hingga kini, Indonesia belum menerapkan model tersebut. “Kita nggak pernah tahu sumber uang yang kita terima itu dari mana, kita nggak pernah nanya, ini sumbernya dari mana, kan nggak mungkin. Kecuali ada mekanisme kita harus men-declare sumber uangnya dari mana,” tegas mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR ini.
Dia menegaskan apa yang disampaikannya bukan lalu mengajak masyarakat boleh korupsi asal nilainya kecil. Pernyataannya tersebut bukan pula dirinya mendukung praktik korupsi. Apa yang disampaikan untuk mengingatkan masyarakat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar kita bisa makan uang haram karena tidak tahu asal-usul sumber dana seseorang.
“Jadi jangan salah persepsi. Bukan berarti saya mendukung praktik korupsi. Meras Rp 100 ribu, sama meras Rp 100 miliar, sama saja, itu haram. Dan itu perbuatan korupsi. Saya tidak tolerir praktik-praktik begitu,” tutup mantan Ketua Banggar DPR ini.
“Jadi yang saya bilang itu yang kecil-kecil itu model gitu. Jadi Setiap orang pasti kita enggak pernah tahu ini uang sumber dari mana, yang beredar nih uang dari mana. Kalau yang haram khusus yang saya bilang besar-besar itu yang memeras orang dengan jabatannya itu benar-benar menciptakan suatu kegiatan haram,” tegasnya menambahkan.****