INFOKINI.NET, KUPANG – Seorang Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada kantor kemenerian agama Kabupaten Kupang, Thomas Yansen Jeharum nekad mempolisikan atasannya karena diberhentikan sepihak.
Kuasa hukum Thomas, Ferdinandus Himan, SH mengaku telah melaporkan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kupang, Saturlino Correia ke Polda NTT pada, Kamis 14 Maret 2019. Laporan itu tertuang dalam surat terima laporan/pengaduan, Nomor : STTL/B/89/III/2019/SPKT.
Ia mengatakan, Saturlino dilaporkan karena diduga kuat telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan karena telah memberhentikan PTT tanpa alasan jelas.
“Tindakan kepala kantor agama itu, melanggar pasal 421 KUHP dengan ancaman hukuman dua tahun penjara,” ujar Himan kepada wartawan, Jumat (15/3/2019).
Surat Skorsing
Himan menjelaskan, pemberhentikan sepihak itu berawal dari adanya pengaduan masyarakat ke kantor kementerian kantor agama kabupaten Kupang tentang adanya dugaan kasus amoral yang dilakukan kliennya.
“Klien saya diadukan karena dituduh tidak bertanggungjawab atas kehamilan kekasihnya,” katanya.
Mersepon pengaduan itu, kata dia, kepala kantor agama Kabupaten Kupang, Saturlino Correia langsung mengeluarkan surat skorsing tertanggal 25 Januari 2019.
Dalam surat itu, kepala kantor kementerian agama kabupaten Kupang menyatakan, Thomas Yansen Jeharum , pegawai tidak tetap pada seksi Bimas Katolik kantor kementerian agama kabupaten Kupang diskorsing selama satu bulan terhitung mulai surat itu dikeluarkan untuk menyelesaikan masalag berdasarkan pengaduan masyarakat tentang hal yang berkaitan dengan moral.
“Klien saya bekerja sebagai PTT sejak 2016 dan pada Januari 2019, ia dilaporkan terkait moral. Sebagai karyawan, klien saya mengikuti saja sesuai isi surat skorsing,” jelas Himan.
Ia mengatakan, menanggapi surat skorsing, pihak keluarga melakukan pendekatan secara kekeluargaan. Thomas Jeharum bersama keluarganya menemui keluarga perempuan yang saat itu diketahui sedang mengandung. Keluarga Thomas pun siap bertanggungjawab dan siap menikahi keduanya. Bahkan, keluarga mengurus semuanya hingga proses persalinan.
Atas kesepakatan bersama, mereka akhirnya membuat surat akta perdamaian yang ditandatangani kedua keluarga.
“Surat damai itu ditandatangani orangtua klien saya dan orangtua dari gadis itu. Akta perdamaian itu sah, karena ditandatangani juga beberapa saksi diatas materai 6000,” katanya.
Tolak Akta Damai
Ironisnya, kata Himan, setelah ada akta perdamaian antara kedua belah pihak, kepala kantor kementrian agama kabupaten Kupang tak kunjung mencabut status skorsing kepada korban.
Setelah ditelusuri, kuat dugaan posisi korban telah diganti oleh orang lain tanpa melalui tes untuk menjadi pegawai PTT.
“Dasar ini yang membuat kami melaporkan tindakan penyalagunaan kekuasaan yang dilakukan kepala kantor ke Polda NTT,” tandas Himan.
Ia menambahkan, selain secara pidana, pihaknya juga berencana mengadukan persoalan itu ke Disnakertrans.
“Saya harap aparat Polda NTT segera menindaklanjuti laporan kami agar klien saya bisa mendapat keadilan,” pungkasnya. (TIM/Dian)